About

HADIAH LANGSUNG,KLIK PENAWARAN DISINI

Amejink!! Struk Pembelian Panci Masih Utuh , Padahal ...

loading...

Rabu malam, 24 Mei 2017. Dari 5 korban tewas, 2 diantaranya diduga pelaku bom bunuh diri.
Foto potongan tubuh berserakan, segera beredar luas di media sosial. Potongan tubuh yang mirip seperti korban mutilasi, yang terpotong di persendian.
Sekedar perbandingan dengan korban-korban bom dekade sebelumnya, biasanya dampak yang ditimbulkan mengoyakkan tubuh dan benda disekitarnya. Bahkan gedung Kedubes Australia saja tampak seperti kain compang-camping yang terkoyak. Umumnya luka pada tubuh korban disertai luka bakar. Karena ledakan bom juga diikuti nyala api.
Coba lihat saja dokumentasi kejadian bom Bali, dll.
Anehnya lagi, pada bom kemarin, meski tubuh pelaku terpotong-potong, tapi struk pembelian panci masih utuh ditemukan di saku celana terduga pelaku. Hebat!!!
Sebuah kebetulan yang luaaarrr biasa. Probabilitasnya mungkin hanya nol koma sekian nol satu persen saja, secarik kertas yang berada di tubuh pelaku, tidak hancur ketika terjadi ledakan bom bunuh diri.
Kabarnya panci itu dibeli dari sebuah super market di Padalarang. Kita semua tahu kan struk supermarket seperti apa jenis kertasnya? Tipis, tintanya pun mudah pudar kalau sudah beberapa hari, apalagi jika menyimpannya tidak rapih dan kertasnya lusuh.
Mengherankan, bagaimana seorang pelaku bom bunuh diri masih merasa perlu menyimpan struk pembelian panci yang dijadikannya alat peledak. Padahal, panci itu semestinya sudah dibeli beberapa hari sebelumnya, kemudian dirakit bom di dalamnya.
Seberapa pentingnya struk belanja??
Kalau pelaku adalah orang suruhan, orang yang mendanai pasti sudah membayarnya terlebih dahulu untuk membeli alat-alat peledak.
Kalaupun pelaku harus membeli dahulu kemudian di-reimburse (suatu hal yang musykil, memangnya perusahaan?! Hahahaaa…), mestinya struk pembelian panci sudah direimburse sebelum pelaku menjalankan misi bom bunuh diri.
Kalau kedua pelaku/eksekutor adalah sekaligus otak dan mereka mendanai sendiri aksinya, makin tidak relevan lagi menyimpan struk pembelian panci. Untuk apa?! Kenangan yang dibawa mati?!
Oh, come on! Ini bagian yang paling mengusik kewarasan akal pikiran kita.
Seorang pengamat masalah terorisme mengatakan, jaringan Dr. Azahari para pelakunya sama sekali tidak berusaha meninggalkan jejak. Bahkan membawa handphone pun tidak. Perkara kemudian ada jejak yang tertinggal, itu sebuah ketidaksengajaan belaka, karena tak ada kejahatan yang sempurna.
Tapi teroris dekade ini memang aneh (atau bahlul??). Jejak yang ditinggalkan sepertinya lebih pada kesengajaan ketimbang keteledoran.
Katakanlah pelaku teror belakangan ini adalah kelompok lain, jaringan yang berbeda dengan dekade sebelumnya, namun semestinya, secara logis maka tindakan terorisme akan semakin canggih, semakin berbobot.
Sama halnya dengan kriminalitas biasa dan kriminalitas ekonomi (perbankan dan instrumen keuangan lainnya), dari tahun ke tahun makin beragam modusnya dan makin canggih, pelakunya makin mahir. Seperti idiom “maling tambah pinter”.
Mana ada maling jaman sekarang menggali lubang untuk membobol rumah, seperti maling tahun 1970-an??
Dalam dunia kriminal, pelaku kriminal kepandaiannya meningkat bak deret ukur sementara kemampuan masyarakat awam mengantisipasi hanya bak deret hitung. Masyarakat hanya bisa mengantisipasi agar kejahatan yang sama tidak terjadi lagi, hanya bisa belajar setelah ada kejadian menimpa orang lain.
Sementara pelaku kejahatan terus belajar dan meng-ahli-kan dirinya agar modusnya tak terendus aparat.
Namun aneh dengan yang terjadi pada kejahatan terorisme khusus di Indonesia. Terorisnya kok belakangan tampak makin konyol ya?
Sasaran aksi terornya juga bukan lagi simbol-simbol asing. Malah menyasar tempat aktivitas rakyat kebanyakan.
Padahal, terduga “teroris” yang berhasil digerebek baik dalam keadaan hidup atau mati, umumnya tinggal di rumah kost atau rumah kontrakan sederhana, berasal dari kelas sosial menengah. Bagaimana bisa mereka mengebom sasaran yang sekelas dengannya??
Terminal Kampung Melayu tempat berkumpulnya angkot, mikrolet, bis kota. Orang yang berada di lokasi itu adalah para pengemudi, kenek, calo, pedagang kaki lima, dan tentu saja calon penumpang yang juga berasal dari kelas menengah ke bawah. Warga kelas atas umumnya naik kendaraan pribadi milik sendiri atau sewa taksi.
Apalagi warga asing, tak mungkin kelayapan sampai malam di terminal.
Mereka yang berada disitu hingga malam adalah rakyat kebanyakan yang bergulat dengan kehidupan, terutama beban perekonomian.
Lalu apa tujuannya teroris mengebom tempat seperti itu yang pasti korbannya adalah “wong cilik” juga???
Wong cilik yang juga adalah korban ketimpangan ekonomi, korban ketidakadilan, korban tidak meratanya kue pembangunan.
Sementara, jika pelakunya adalah kelompok radikal garis keras, mereka justru melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan, melakukan kritik atas ketimpangan ekonomi dan sosial.
Jadi, bagaimana bisa orang yang memprotes atau melawan suatu keadaan, kemudian melakukan penghancuran atas orang-orang yang senasib dengannya??!!
How come?!
Oh, come on! #Marijagakewarasan !
Seperti apa yang dilakukan “teroris” di jalan Thamrin awal tahun lalu. Dia bahkan tak hendak melukai masyarakat yang berkerumun di sekelilingnya. Padahal mudah saja baginya memuntahkan peluru dari laras senapannya, ke arah “penonton” dan aksi terornya akan jauh lebih berhasil karena efek teror yang ditimbulkan akan lebih dahsyat.
Ada apa di balik semua ini???
Ayolah, masyarakat sudah makin pintar, makin logis dalam berpikir!
Masa iya terorisnya makin goblok dan konyol?!
Lain kali mungkin terorisnya bukan hanya meninggalkan KTP disekitar serpihan tubuhnya. Siapa tahu dia bawa juga akte kelahiran, ijazah terakhir, kartu keluarga, jadi biar gampang segera ketahuan siapa ortunya, siapa keluarganya (istri dan anak) dan alumni mana sekolahnya.
Hmm…, alangkah ~tidak~ lucunya terorisme di negeri ini!!
loading...
loading...

0 Response to "Amejink!! Struk Pembelian Panci Masih Utuh , Padahal ..."

Post a Comment